Semakin lama kebersamaan
yang dilalui suami istri akan semakin mendekatkan jarak antara keduanya. Sehingga
ketika mereka sama-sama sudah berumur lanjut dan memasuki musim rontok, kita
mendapatkan hubungan dan kedekatan keduanya hampir mencapai satu titik yang
tidak bisa dipisahkan lagi.
Pemikiran sama, sikap dan
perilaku dalam menghadapi berbagai peristiwa juga sama, kenangan-kenangan juga
sama, apa yang membuat tertawa dan apa yang membuat menangis juga sama,
sampai-sampai ketika salah seorang di antara keduanya meninggal dunia terlebih
dahulu, maka yang satunya lagi segera menyusul, karena tidak ada sesuatu yang
membuatnya kuat menghadapi kehidupan dalam keadaan sendirian, tanpa pendamping
hidupnya dan kembaran ruhnya, yang bersamanya dia sama-sama merasa pahit dan
manisnya kehidupan selama berpuluh-puluh tahun.
Kita bisa melihat hubungan
suami istri yang rapat seperti ini setelah mereka diikat hubungan lebih dari
sepuluh tahun, terlebih lagi juga melewati berpuluh-puluh tahun, sehingga
masing-masing bisa mengenal pikiran dan pandangan pasangannya.
Seorang wanita yang sudah
berumur sekitar tujuh puluhan tahun menuturkan, “ dulu aku hidup di tengah
keluargaku selama lima belas tahun dan aku hidup bersama suamiku selama lebih
dari lima puluh tahun. Kami hidup bersama dengan pahit getir dan manisnya. Kami
didik anak-anak kami yang berjumlah delapan orang, putra dan putrid, kami
nikahkan mereka semua dan kami sangat gembira dengan cucu-cucu kami yang juga
sudah menikah. Ada yang pahit dan ada yang manis. Setelah ayahku meninggal
sejak tiga puluh tahun yang lalu, begitu pula ayahnya, maka suamiku adalah
segala-galanya bagiku, dia adalah keluargaku dan aku adalah keluarganya. Aku selalu
berdo’a kepada Allah agar aku dimatikan-Nya lebih dahulu daripada suamiku.
Sebab bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa keberadaan dirinya? Semoga Allah
memanjangkan umurnya.”
Seorang laki-laki yang telah
berumur delapan puluh tahun menuturkan pengalamannya, ‘Aku menikahi istriku
ketika dia masih kecil, yang tak lain dia adalah putrid pamanku sendiri.
Sekalipun masih kecil dan masih muda tapi dia adalah seorang istri yang sangat
menyenangkan, patuh dan selalu beres dalam mengerjakan semua kewajibannya di
rumah. Aku seorang nelayan, kadang sampai beberapa hari aku mininggalkannya di
rumah untuk pergi menangkap ikan. Lalu aku pulang dengan membawa seluruh
kerinduan kepadanya. Aku mendapatkan perhatian yang benar-benar tulus darinya.
Ketika ayahnya meninggal dunia, kukatakan kepadanya “Sekarang aku adalah
segenap keluargamu”. Kami lebih sering menghadapi hari-hari yang susah dan
sulit. Namun begitu dia tetap sabar dan tabah hidup bersamaku. Yang pahit dan
yang manis sudah pernah kami rasakan selama mengarungi kehidupan bersama selama berpuluh-puluh tahun. Sampai akhirnya
kami lebih sering berduaan saja ketika anak putri yang bungsu juga menikah lalu
hidup bersama suaminya. Terlebih lagi ketika kondisi fisikku semakin tidak
mampu untuk bekerja keras. Kami lebih sering duduk berduaan di dalam rumah.
Sejak remaja aku tidak suka meninggalkan rumah dan duduk-duduk di luar rumah.
Inilah diantara nasihat yang seringkali ditujukan kepada kaum laki-laki. Rumah
kalian dan anak-anak kalian lebih membutuhkan waktu kalian daripada orang lain.
Ternyata lamanya kehidupan suami istri bisa menambah eratnya hubungan mereka
berdua, sehingga yang satu senenantiasa membutuhkan yang lain.
Adapula seorang wanita yang
menuturkan perjalanan hidupnya “ Aku tidak tahu persis berapa umurku. Tapi yang
masih kuingat, ibuku pernah berkata kepadaku, bahwa aku dilahirkan pada hari
yang sama dengan kelahiran suamiku, yang tak lain adalah anak pamanku sendiri
yang kini umurnya sudah enam puluh tiga tahun. Menurut cerita orang-orang, saat
kami dilahirkan sanak keluarga berkata, “Mereka akan menjadi pasangan suami
istri,” Cerita inipun terus berkembang seiring dengan perkembangan usia kami
hingga memasuki masa remaja. Akhirnya mereka menikahkan kami pada usia yang relative
sangat muda, kira-kira pada usia enam belas tahun. Aku melahirkan dua belas
anak, namun lima diantaranya meninggal dunia. Tujuh lainnya sudah menikah, maka
tinggallah kami berdua, mengenang kembali saat-saat kami belajar bersama,
bercanda, bermain dan hari-hari yang pernah kami lewati bersama, suatu kenangan
yang takkan terlupakan. Kini kami hidup berdua, kami amat bahagia karena
kebahagiaan anak-anak kami.
Sebuah terapi psikis
membuktikan bahwa kebersamaan dan pergaulan yang berjalan sekian lama bisa
mendekatkan antara suami istri, sampai-sampai mereka berdua layaknya anak
kembar, Sebab masing-masing suami istri bisa mengenali kebiasaan, gerakan dan
perilaku pasangannya selama jangka waktu yang dilewati itu, mempengaruhi dan
terpengaruhi.